Wawancara dengan Majalah Parlementaria

Journal

Akhir tahun lalu, saya diwawancarai secara tertulis oleh Majalah Parlementaria terbitan DPR RI. Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Parlementaria sangat menarik dan penting sehingga saya ingin membagikannya di sini. Saya menjawab pertanyaan-pertanyaan Parlementaria dalam empat lembar dokumen. Jawaban itu terlalu panjang sehingga redaksi harus memotongnya dalam artikel. Ini adalah versi lengkap wawancara tersebut. Semoga menghibur!

Tampilan halaman Tokoh di Majalah Parlementaria edisi 215 tahun 2022.

Sebagai seseorang yang lebih dikenal sebagai seorang penulis, apa ada cerita dibalik keputusan akhirnya memilih jalan sebagai ilustrator?

Sebetulnya tidak ada cerita istimewa di balik keputusan itu. Tidak sekali saya merasa diri saya “salah jurusan”. Saat SMA, saya masuk jurusan IPA  karena saya pikir jurusan itu yang akan memberi saya peluang lebih baik untuk masa depan. Pada akhirnya, saya tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan akhirnya memilih jurusan IPS ketika ujian masuk universitas.

Kisah di bagian ini pun tidak berbeda. Awalnya saya ingin belajar di Desain Komunikasi Visual karena saya suka menggambar sejak kecil. Di SMA pun saya mengerjakan ilustrasi dan komik mini untuk majalah sekolah. Tapi, lagi-lagi saya mengurungkan niat karena saya tidak bisa melihat masa depan saya dengan pasti dari jurusan itu.

Akhirnya, saya kuliah di jurusan berbeda dan dipertemukan dengan teman yang berkecimpung di dunia sastra anak. Tahun 2017, dia mengajak saya mengikuti Sayembara Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang diadakan oleh Kemendikbud. Buku yang lolos sayembara itu, Wangi dari Rumah Mbah Surti, adalah buku anak yang pertama kali saya ilustrasikan.

Sejak proyek itu, saya mengerjakan ilustrasi untuk beberapa buku anak lagi yang ditulis oleh teman-teman yang lain. Saat itu, saya pikir, meski saya masih belum tahu ke mana  dan bagaimana hal ini bisa memberi saya penghidupan, tapi inilah yang bisa saya lakukan dengan baik di antara hal-hal lain. Karena itu, meski masih diselimuti keraguan, saya menetapkan hati untuk terus berada di jalan menjadi ilustrator, khususnya untuk buku-buku anak.

Kami ingin memahami kamu lebih dalam, bisakah ceritakan seorang Nai Rinaket dalam dunia ilustrasi anak?

Karir ilustrator saya dimulai pada tahun 2017, seperti yang sudah saya ceritakan di atas. Sebelum itu, saya lebih banyak menulis esai berbagai tema, salah satunya tema anak. Tema ini membuat saya bersinggungan lagi dengan buku-buku anak yang sudah lama saya tinggalkan. Dari sanalah saya mulai menaruh perhatian tidak hanya pada novel-novel anak, tapi juga buku-buku yang memuat ilustrasi.

Dulu, saya tidak begitu berpikir saat menggambar untuk buku-buku anak. Saya pikir, yang penting saya menyukai gambarnya. Lama-lama, suka saja tidak cukup untuk menghasilkan ilustrasi yang mumpuni. Saya yang tidak menyukai teori gambar pelan-pelan menerima bahwa saya memang butuh mempelajari teknik dasarnya.

Sembari mengerjakan ilustrasi untuk buku, saya juga sempat mengikuti kelas fundamental menggambar dan saat ini masih berusaha menemukan formula yang pas untuk belajar secara otodidak. Kesadaran-kesadaran yang terus bertambah dalam hal ilustrasi membuat saya lebih perhitungan saat menggambar.

Selain belajar dan mengerjakan ilustrasi buku anak, saya juga sempat mengajar kelas menggambar untuk anak-anak di Yogyakarta. Menjadi ilustrator buku anak memungkinkan saya bertemu dengan teman-teman baru, baik itu ilustrator maupun teman-teman yang terlibat di bidang lain dalam industri perbukuan. Saya menikmati semua peristiwa itu.

Saat ini, saya menjadi anggota Kelompok Ilustrator Buku Anak Indonesia (KELIR) dan The Society of Children’s Book Writers and Illustrators (SCBWI).

Mengapa kamu memilih jalan untuk ingin menjadi seorang ilustrator, khususnya untukanak-anak?

Waduh, ini pertanyaan yang begitu syuulit! Ah, bagaimana  ya?  Mungkin saya hanya ingin memberikan apa yang tidak saya miliki ketika kecil dulu pada anak-anak: buku-buku bagus yang berlimpah! Buku yang tidak hanya ditulis dengan baik, tapi juga memiliki ilustrasi yang memberi mereka kebahagiaan. Kalau ilustrasi yang saya gambar dan mereka lihat sewaktu kecil terus mereka ingat sampai dewasa, dan bisa memberi celah untuk mengingat bahwa mereka memiliki masa kecil yang tidak terlalu buruk, itu pun sudah cukup banget bagi saya.

Kami penasaran, bisa terangkan dari sudut pandang kamu, bagaimana hubungan teks dan ilustrasi untuk pembaca anak-anak?

Sebetulnya saya tidak memiliki pandangan tertentu untuk hal ini. Jadi, mungkin saya hanya akan cerita bagaimana pandangan tentang hubungan teks dan ilustrasi untuk pembaca anak-anak dari hal-hal yang saya tahu dan alami sejauh ini.

Saya pernah mengajar kelas menggambar untuk anak-anak yang tidak bersekolah formal. Ada yang homeschooling penuh, ada juga yang bersekolah di sekolah informal. Dalam sebuah kesempatan, terjadi obrolan yang sampai saat ini masih terus saya ingat, antara saya dan salah satu orangtua anak tentang seberapa penting ilustrasi hadir dalam kehidupan anak-anak. Dia bilang, sebetulnya anak-anak tidak butuh ilustrasi. Saya pun sangat tertarik mengobrol lebih jauh.

Ibu ini adalah seorang homeschooler. Dia menceritakan pengalaman membaca bersama anaknya. Setiap malam, ibu ini membacakan lantang novel pilihan sebelum tidur pada anaknya. Dengan hanya mengandalkan pendengaran dan ikatan dengan suara Ibu, anaknya mengerti apa yang diceritakan oleh dalam buku itu. Saat diminta menceritakan ulang, anaknya paham dengan baik bagaimana alur ceritanya dan mana bagian-bagian yang menurutnya menarik.

“Masalah” datang saat anaknya pada suatu hari meminjam komik dari temannya dan mulai gemar membaca buku-buku yang penuh gambar. Selain itu, ada masa-masa berlibur di rumah kakek-nenek yang membuatnya terpapar tontonan televisi tanpa jeda. Usai liburan saat sesi akademis dimulai lagi, anak ini “tiba-tiba” lupa cara membaca. Saat membaca buku sendiri, dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh kalimat itu sampai si ibu mesti menjelaskan.

Gambar-gambar telah memanjakan anaknya, membuat dia malas berpikir. Anaknya telah terbiasa mendapat penjelasan dari gambar di buku sehingga tanpanya, dia tidak bisa membentuk gambaran makna sendiri di pikirannya. Akhirnya, ibu ini menghentikan sementara konsumsi buku-buku bergambar sampai pikiran anaknya pulih.

“Tapi, ya, kita masih perlulah ilustrasi dan gambar-gambar itu. Karena itu yang membuat dunia kita terlihat indah, kan? Lagipula, kalau anak-anak hanya boleh melihat lukian-lukisan seniman, aksesnya kan tidak mudah di sini?” Katanya, seperti yang saya ingat waktu itu.

Cara pandang saya terhadap ilustrasi mengalami perubahan seiring waktu. Mungkin kalau yang mengalami obrolan ini adalah saya yang dulu, saya bisa marah. Hahaha. Tapi, sekarang, saya pun bisa melihat bahwa segala hal memiliki sisi dua sisi mata pedangnya sendiri.

Dalam kaitan antara teks dan ilustrasi, kita pun mengetahui adanya perjenjangan yang dilakukan oleh pemerintah. Di sana, termuat standar seberapa persen ilustrasi dibanding teks baiknya untuk level pembaca tertentu. Dalam beberapa hal, ini cukup membantu, tapi juga memiliki “bahaya” yang mesti diantisipasi.

Terkhusus untuk picture book—saya belum menemukan cara yang tepat untuk menyatakan istilah ini dalam bahasa Indonesia—, saya mulai menyadari bahwa apa yang saya gambar untuk buku anak bisa memiliki dua hal: pertama, ilustrasi itu hanya akan bersifat dekoratif atau pelengkap narasi tertulisnya; atau yang kedua, ilustrasi itu bisa mencapai kualitas yang lebih dalam dan mengutuhkan narasi tertulis tanpa saling menghilangkan.

Inilah salah satu hal yang bagi saya menjadi masalah yang cukup rumit dalam ide-ide tentang picture book yang teks dan ilustrasinya saling terkait. Sering dikatakan oleh praktisi picture book bahwa apa yang sudah tertuang dalam narasi tertulis jangn sampai diulangi dalam narasi visual, atau sebaliknya. Dalam beberapa hal, ide ini bisa diterima. Namun, kita bisa terjebak ke dalam reduksi narasi tekstual yang bisa brutal sehingga menjadikan narasi tekstualnya hambar dan tidak memiliki daya pikat secara kebahasan.

Saya pikir, keharmonisan antara kata dan rupa tidak perlu dalam hubungan kaku saling  meniadakan seperti ini demi dalih saling melengkapi. Saya rasa, keindahan kata-kata memang diperlukan, dan ilustrasi bisa memperkuat nuansanya—tidak sekadar menampilkan visualisasi yang deskriptif—dengan kualitas artistik dan metafora yang mungkin dia hadirkan untuk mengilustrasikan teks itu.

Aduh, kok jadi panjang banget, ya! Maaf ya, hahaha! Tapi, itulah salah satu hal yang sedang cukup intens saya pikirkan akhir-akhir ini. Industri picture book saya rasa sedang cukup naik daun, tetapi tantangan ideologisnya juga cukup berat.

Bagaimana kamu bisa menerjemahkan aksara menjadi emosi yang bisa dipahamioleh para pembaca anak lewat ilustrasi?

Ada langkah-langkah yang pasti saya lakukan sebelum menerjemahkan teks ke dalam ilustrasi yang sesuai untuk teks itu. Pertama, saya harus membaca teksnya dengan baik, kalau perlu lebih dari satu kali. Setiap teks biasanya membawa nuansa yang berbeda-beda ke dalam hati. Inilah yang biasa saya jadikan acuan pertama untuk menjawab pertanyaan selanjutnya: ilustrasi bagaimana yang sesuai untuk nuansa buku ini?

Setelah itu, saya mengumpulkan referensi-referensi visual, termasuk jika misalnya teks itu memiliki latar waktu dan tempat yang spesifik, saya akan mencari referensi yang sesuai dengan itu. Misalnya, bagaimana pakaian yang digunakan pada masa itu, arsitekturnya, dan sebagainya.

Setelah itu, saya mulai mulai melakukan eksperimen, membuat coretan-coretan awal. Setelah menemukan gaya yang cocok untuk teks itu, barulah saya bekerja: membuat papan cerita, sketsa detail, mewarnai, dan melakukan sentuhan akhir sebelum ilustrasi siap cetak.

Saya percaya ilustrasi yang digarap dengan kesadaran akan apa yang harus dipenuhi dalam ilustrasi itu akan bisa menyampaikan dengan baik perasaan buku itu kepada pembaca.

Dari puluhan karya yang kini telah kamu lahirkan, ilustrasi apa yang paling berkesan untuk kamu? Bisa ceritakan prosesnya?

Saya jarang menyukai ilustrasi saya dari halaman pertama sampai terakhir buku yang saya ilustrasikan. Jadi, itulah yang saya patri dalam benak saat menggarap ilustrasi untuk buku Djokolelono yang berjudul Gleger (Lingkarantarnusa, 2022): saya ingin menyukai ilustrasi saya dari halaman pertama sampai terakhir buku ini. Saat ini tercapai, itu merupakan hal yang sangat menggembirakan buat saya.

Saya menggarap buku Gleger secara digital. Ini adalah buku pertama yang sepenuhnya saya garap secara digital. Setelah penerbit setuju dengan papan cerita yang saya kirimkan, saya melakukan percobaan warna untuk halaman pertamanya.

Cukup sulit menemukan warna dan nuansa yang cocok untuk buku ini. Setelah kurang lebih membuat empat alternatif pewarnaan, akhirnya saya menemukan palet warna dan rendering yang cocok untuk buku ini. Penerbit pun cocok dengan warna yang akhirnya saya pilih. Setelah itu, proses pengerjaannya berjalan dengan mulus sampai akhinya buku terbit bulan Juni 2022 lalu.

Menurut kamu, ilustrasi seperti apa yang bagus untuk anak-anak?

Ilustrasi yang membuat anak-anak gembira, lebih ingin tahu, dan memungkinkan mereka menjelajah lebih jauh lagi dari apa yang mereka lihat di ilustrasi.

Bisakan ceritakan, tantangan menjadi ilustrator anak-anak di Indonesia?

Secara ekonomi: honornya masih jauh dari layak! Hahahaha! Secara ideologis: ilustrator masih belum memiliki independensi untuk merancang sendiri bagaimana eksekusi ilustrasi harus dilakukan. Editor visual masih belum dipertimbangkan perannya dalam proses penerbitan buku, dan kadang penulis terlalu ikut campur dalam ranah visual.

Ah, satu lagi tantangan terbesar ilustrator anak-anak Indonesia: permintaan untuk menggunakan warna-warna cerah di sekujur ilustrasi. Hahaha!

Adakah harapan yang ingin kamu sampaikan kepada rekan-rekan ilustrator amatir anak-anak yang kini sedang berjuang merintis jalannya untuk sukses?

Tahu benar selera pasar akan sangat membantu ilustrator anak untuk menyokong penghidupan secara ekonomi. Namun, memiliki selera artistik yang dengan baik bisa menunjukkan siapa dirimu sesungguhnya akan memberikan keuntungan tidak hanya secara ekonomi. Oh ya, jangan lupa belajar terus! Pelan-pelan, satu-satu. Mulai dari yang kecil karena kecil itu indah.[]