Catatan Akhir Tahun 2022: Mendengar Suara Tukang Daging di Riuhnya Pasar

Journal

Entah berapa kali saya menulis berbagai variasi dari kalimat ini: saya telah menekuni karir ilustrasi sejak 2017. Sebetulnya saya telah bosan dengan intro itu. Sama sekali tidak menginspirasi dan tidak menjelaskan apa-apa tentang diri saya. Tapi siapa sih saya, khususnya jika saya mengasosiasikan diri dengan ilustrasi (buku anak), hal yang saya akui telah saya tekuni sejak setengah dekade silam ini? Pertanyaan itu berulang dalam benak saya sepanjang tahun ini.

Pada suatu waktu, saya pernah memandangi postingan-postingan di Instagram saya sembari menerka-nerka, apa yang sebenarnya ingin dikatakan orang ini tentang dirinya lewat gambar-gambar yang dia pajang di sini? Saya coba menemukan corak warna, garis, tema cerita, apapun yang memungkinkan saya melihat sosok ini lebih jelas… tapi saya belum mendapatkan apa-apa. Saya merasa ada sesuatu di sana, tapi itu masih terlalu samar untuk bisa didefinisikan dengan jernih.

Barangkali sosok itu justru lebih bisa saya temukan lewat bagian reels. Ah, lihat dia. Saya menyukai sosok itu: wajahnya tidak pernah muncul di sana, tapi saya bisa melihat ketertarikannya pada langit biru, rerumputan, persawahan, serangga yang tidak dia kenal namanya, bunga-bunga di kampung halamannya, pohon besar di perempatan jalan ramai—betapa romantis dan naif tampaknya dirinya. Saya membaca narasi-narasi yang tertulis pada sebagian besar reel di sana. Narasi pendek yang enak dibaca dan selesai dengan baik, tidak seperti tulisan manapun yang dia tulis tahun-tahun sebelumnya.

Saya menyadari kesenangan saya pada hal-hal yang saya rekam di video-video pendek di reel itu sejak lama sekali. Tapi, dalam lima tahun karir saya sebagai ilustrator (buku anak), kenapa hal-hal itu tidak begitu terlihat dalam gambar-gambar saya? Pertanyaan ini semakin menguat setelah salah satu teman menyarankan untuk membuat deskripsi biodata diri lebih jelas dengan memberi petunjuk apa yang melatarbelakangi saya menggambar apa-apa yang saya gambar sekarang. Saran dia saat itu betul-betul sebuah momen eureka bagi saya.

Semuanya telah ada di sana sejak dulu: bapak saya yang berangkat ke sawah sebelum saya sempat bangun tidur, ibu saya yang tekun bikin-bikin untuk bahan ajar di kelasnya, konser kodok dari sawah di samping rumah di musim hujan, panen jagung, suara burung-burung, mandi di kali di masa kecil… Bagaimana bisa saya begitu buta selama ini? Saya merasa diri saya perlahan lahir kembali saat jemari saya mulai menyusun diri kembali melalui kata-kata:

“Saya berasal dari keluarga petani di sebuah desa pelosok di Jawa Timur, Indonesia. Sejak kecil, selain suka membaca dan menggambar, saya menghabiskan waktu dengan bermain di sungai, pematang sawah, juga membantu orangtua saya menanam padi atau menggembala kambing.

Kehidupan sederhana di desa dengan langit biru dan sawah membentang luas sangat membekas di hati saya ketika dewasa dan sudah tidak hidup di sana lagi. Bagi saya, menggambar juga adalah salah satu cara menemukan diri saya kembali. Saya yang tidak mewarisi cara hidup ayah saya sebagai petani menemukan tautan dengan menggambar. Saya sangat menikmati menggambar hal-hal yang berhubungan dengan alam. Karena itu juga, karya-karya saya didominasi oleh warna hijau dan biru.”

Saya sadar, saat ini saya belum sepenuhnya menjadi apa yang saya tulis. Tapi saya bisa merasakan, saya berada di jalur yang semestinya. Saya senang menyadari hal ini dan akan berusaha sepenuh hati menyambut panggilan dari saya yang baru.

Saya juga senang menyadari bahwa saya tidak lagi mengkhawatirkan soal portfolio ilustrasi saya: apakah akan cocok untuk pasar yang saya tuju, apakah akan berhasil menarik industri perbukuan dunia, apakah keseluruhan ilustrasi saya telah secara konsisten merepresentasikan gaya gambar dan kekuatan ilustrasi saya, dan seterusnya, dan seterusnya… Tentu saja ini bukan berarti saya tidak peduli soal ini semua—kalau tidak, bukankah saya tidak akan pernah memaksa diri membangun situs ini. Saya tahu, suatu saat saya akan sampai di sana. Saya tahu, suatu saat gambar-gambar saya akan bisa menjelaskan dengan baik tentang apa yang saya pedulikan dan penting bagi saya. Saat ini, saya hanya perlu terus melakukan apa yang ingin saya lakukan dan berusaha kenal lebih dekat lagi dengan diri sendiri.

Wah, gila betul. Rasanya tahun ini peristiwa yang terjadi di kepala saya jauh lebih banyak daripada yang saya alami secara ragawi. Kue pernikahan tahun pertama, kehilangan kucing peliharaan pertama lalu menyambut kucing baru—Rumi, bikin situs web pribadi, mengajar lagi dengan perasaan lebih ringan, pindah ke rumah kami sendiri, dapat kesempatan pameran ilustrasi luring di Jakarta, dan salah satu yang paling penting di antara semuanya: belajar menggambar dasar (lagi)—adalah sedikit peristiwa tahun ini yang masih saya ingat. Saya tidak begitu banyak mengilustrasikan buku selama tahun 2022, tapi, Gleger (Lingkarantarnusa, 2022) yang ditulis oleh Djokolelono adalah salah satu tonggak baru dalam perkembangan ilustrasi saya.

Peristiwa-peristiwa itu memiliki bentuk masing-masing di kepala saya, tapi, kalau saya ingat-ingat lagi, kebanyakan bermuara lagi pada satu pertanyaan menjengkelkan: siapa sih saya ini? Jawabnya ada di ujung langit. Kita ke sana dengan seorang anak. Anak yang tangkaaas dan juga pemberaniiii hiiii…

Tahun depan tinggal hitungan jam. Saya punya beberapa cita-cita mungil yang serius. Tahun depan juga adalah tahun ke-30 saya tinggal di dunia. Semoga saya tidak pernah lupa siapa saya dan dari mana saya berasal.[]