Aku termangu memandang gambar yang baru saja selesai di hadapanku. Harus kujuduli apa gambar empat orang anak yang tengah berlari sambil membentangkan tangannya menirukan kepakan sayap kerumunan burung—yang, daripada tampak terusik, lebih terlihat seperti mengiringi keempatnya—di tengah padang poppy merah-putih itu?
Akhir tahun lalu, saya diwawancarai secara tertulis oleh Majalah Parlementaria terbitan DPR RI. Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Parlementaria sangat menarik dan penting sehingga saya ingin membagikannya di sini. Saya menjawab pertanyaan-pertanyaan Parlementaria dalam empat lembar dokumen. Jawaban itu terlalu panjang sehingga redaksi harus memotongnya dalam artikel. Ini adalah versi lengkap wawancara tersebut. Semoga menghibur!
Ada dua hal yang mulanya saya pikir cukup mustahil dilakukan, setidaknya oleh saya sendiri sampai beberapa waktu yang lalu: menikmati hari ini dan menemukan kesamaan antara seni sepakbola dan seni ilustrasi. Untuk hal pertama, saya masih terus mengusahakannya, terutama setelah mendengar tausiyah David Bayu (NAIF) di wawancara bersama Soleh Solihun tempo hari.
Sejak masa remaja sampai awal masa dewasa-muda, saya terobsesi menjadi penulis. Penulis yang saya maksud tentu saja adalah penulis dalam definisi kapitalisme cetak: nama saya berada di sampul sebuah buku dan bisa ditemui di rak-rak toko buku Gr*media kesayangan Anda. Lalu, dari buku Cinta Brontosaurus Raditya Dika, saya jadi sangat bersemangat memiliki blog dan bertekad menulis sesuatu yang menggentarkan. Saya bahkan memiliki sebuah binder dengan sampul bertuliskan “I’m a Writer”. Hahaha. Andai saja waktu itu saya sadar bahwa cita-cita itu sudah tercapai sejak saya menulis cerita pendek untuk pertama kalinya di kelas lima sekolah dasar, di sebuah buku tulis bersampul kertas dluwang berjudul “Buku Mengarang.”